Ciuman Pertama Aruna

IV-198  Inikah Sang Tetua?



IV-198  Inikah Sang Tetua?

0"Kamu belum mau tidur denganku?", teras samping rumah menawarkan taman yang indah, bahkan saat malam hari. Lampu taman terselip di antara rerumputan, bunga, dan pohon. Kuning temaram di bawah sinar bulan. Segalanya menawan untuk diperhatikan.      

Malam ini seorang perempuan tampaknya tengah menikmati kesibukannya, dia merangkai tangkai-tangkai bunga. Tangannya menari cantik, padahal ia hanya sedang memotong ujung tangkai dan meletakkannya pada kaca kristal berbentuk vas bunga memanjang. Seindah lily air, bunga berwarna putih; calla lily-zantedeschia aethopica-. Hingga kedatangan suaminya sekedar membuahkan lirikan saja.      

Pria bersweater biru hadir selepas kursi roda melintasi pintu dan digerakkan untuk mendekati keberadaan sang perempuan.      

"Aku minta maaf. Aku masih enggan melepas kenikmatan tidur dengan putriku," acuh tak acuh Sukma bicara.      

"Kau ini!", jengkel lelaki paruh baya, "Jarang marah. Sekalinya marah, kamu pendam bara itu berhari-hari," suaranya yang berat membumbui keengganan istrinya untuk menatap.      

Tapi dia tak lagi marah seperti sebelumnya, dia mulai belajar bersabar dan memahami Sukma. Istri yang menua bersamanya, yang dalam pikirannya seolah Sukma masih gadis muda, polos dan penurut, yang dia nikahi di taman yang ada di hadapannya. Taman yang saat ini ia amati, selepas istrinya memilih mendiamkannya.      

"Siapa itu?"      

"Hemm?", selain sibuk merangkai bunga pada vas kristal yang memanjang cantik, Sukma membagi konsentrasinya pada wewangian di dalam gelas. Wangi Lilin aroma terapi dalam gelas yang detik ini sedang ditata Sukma. Senyum, dan memperhatikan hasil kesibukannya. Sukma sekedar bergumam saat suaminya bertanya.      

"Siapa dia?", Wiryo mengamati taman. Dia melihat orang asing di sana. Perempuan yang berjalan-jalan di antara cahaya bulan, beradu dengan lampu taman. Dan ketika perempuan itu menoleh, mata hazelnya menyala. Warna mata langka yang hampir mirip seperti warna mata kucing.      

Sukma mengikuti arah pandang suaminya, pria yang hampir menggerakkan kursi roda.      

"Oh'," desahnya, "Itu ibu Juan," jelas Sukma.      

Pria tua itu bergeming.      

"Kamu pasti tak yakin dengan penglihatanmu. Aku juga tak yakin salah satu istri Rio ada di rumah ini," spontan Wiryo menoleh.      

Sukma sadar apa maksud Wiryo, wajahnya tertuliskan sebuah tanda tanya : 'dari mana kamu tahu nama Rio?'.      

"Aku penurut, tapi bukan berarti aku tak tahu siapa yang membunuh bayi lelaki malangku," Sukma bangkit dari duduknya. Dia memeluk vas bunga di tangan kiri dan gelas lilin aroma terapi di tangan kanan.      

"Aku antar ini ke kamar Aruna dulu," Ujar Sukma hendak pergi.      

"Bagaimana dia ada di sini?", Wiryo masih menanyakan keberadaan istri Rio.      

"Cucu kita lebih tahu dariku, atau tanya saja langsung," timpal Sukma.      

"Satu lagi," Wiryo meraih sudut baju Sukma, "Mengapa hanya cucu menantumu yang kau siapkan lilin dan bunga di kamarnya? bagaimana denganku?", Sukma selalu menyiapkan bunga dan lilin pada nakas di kamar mereka. Dan kebiasaan itu hilang sejalan dengan enggannya Sukma tidur dengan Wiryo.      

"Kamu bukan perempuan yang perutnya membesar sampai kesulitan tidur," sindir Sukma.      

Dia meninggalkan suaminya, lelaki yang detik ini berada di teras sendirian.      

Lelaki tua ini hendak mengikuti istrinya. Namun terhenti sebab si pemilik mata hazel mendekat, menyapanya dengan ekspresi canggung luar biasa.      

"Maaf, jika saya lancang, berkeliaran di taman rumah anda. Saya akan..", ucapannya terhenti.      

"Kamu benar istri Rio?", Tetua Wiryo yang bahkan namanya tak berani disebut oleh Rio duduk di kursi roda dan bertanya pada Mia.      

Mia bergeming. Suara pria ini lebih dalam dari cucunya yang bermata biru. Tampak berwibawa bahkan saat dia sekedar duduk di atas kursi roda. Sebagian besar wajahnya dipenuhi bulu tipis berwarna putih. 'Inikah sang Tetua yang menakutkan itu?'      

Entah bagaimana dalam sudut pandang Mia, lelaki tua ini terlihat berbeda. Ada kesan bijaksana di sela matanya yang tajam dan suaranya yang berat.      

"Saya tidak pernah menikah, tapi saya melahirkan salah satu putranya," Tetua Wiryo berdehem dalam, saat mendengar penjelasan Mia. Lelaki paruh baya itu mengangguk.      

"Nikmati apa yang ingin kamu lihat," hanya itu pesan yang dia ucapkan. Tak ada pernyataan yang berujung tanda tanya. Mia bingung atas sikapnya. Sebingung dia yang dibawa masuk begitu saja ke rumah ini, oleh cucu pria yang memutar kursi rodanya dan meninggalkan Mia sendirian. Berdiri kosong dan tak mengerti semudah itukah dirinya di terima di rumah ini.     

Mia tidak tahu bahwa lelaki tua itu sudah bisa merunut dugaan yang cenderung tak meleset, hanya dengan kalimat sederhananya bahwa dia perempuan yang melahirkan putra tanpa ikatan yang jelas. Termasuk dengan bekas lebam di pergelangan tangannya serta pada seputar pipi.      

.      

.      

"Juan,"      

"Mengapa mama memanggilku Juan?", putranya terkejut.      

"Aku menyukai panggilan barumu. Ah' lupakan itu, aku ingin memberitahu sesuatu," Mia tampak bersemangat.      

"Apa itu?"      

"Pria yang ditakuti Rio. Aku melihatnya, dia yang mengenakan kursi roda bukan?"      

"Ya, mama benar,"      

"Dia tak semengerikan yang mama bayangkan. Dia.."      

"Terlihat luar biasa dan sedikit bicara," imbuh Juan.      

"Benar," Mia mengangguk memberi pengakuan.      

"Mama hanya belum melihat bagaimana dia membuat perintah. Tak ada yang bisa menolaknya, dan tak ada yang bisa mengingkari kehendaknya. Bukan karena Tetua kejam, tapi ada sesuatu yang lain. Entah apa itu," lengkap Juan.      

"Apakah tak mengapa bila kita tinggal di sini lebih lama?"      

"Jangan khawatir Ma! Juan akan bicara pada tuan Hendra."      

***      

Gadis berambut hitam panjang sepinggul mondar-mandir tak menentu. Dia ingin mengetuk pintu di hadapannya sejak tadi. Tapi nyalinya tak ada, sampai sang Nyonya datang dengan vas bunga dalam pelukan.      

Kihran lekas membantunya. Dia menggantikan Sukma memeluk vas kristal. Menunggu dengan penuh harap di balik punggung sang Nyonya yang pada akhirnya terdorong untuk mengetuk pintu.      

"Kamu berhutang padaku," bisik Sukma pada junior Susi. Yang memang terlihat sekali menunggu momen, dimana dia bisa masuk ke dalam kamar Aruna.      

Kihrani sempat tersenyum dan lekas menunduk selepas dilirik Sukma.      

"Kau takut ada Hendra di dalam?!"      

''Bagaimana Nyonya bisa tahu?", volume suara Kihran sangat lirih.      

"Wajahmu yang memberitahuku," pintu perlahan terbuka. Dan benar, lelaki bermata biru yang membukanya.      

"Sembunyikan berkas itu!", kalimat perintah ini lebih lirih dari yang sempat Kihran suarakan. Gadis ini lekas membalik tubuhnya dan memasukkan berkas ke dalam bajunya.      

Untung saja lelaki bermata biru itu sekedar membuka pintu. Lalu terlihat duduk di meja kerjanya -yang tersedia pada salah satu sisi ruangan-.      

Sudah dapat dibayangkan, bagaimana perempuan bermata coklat berbinar dan buru-buru mengarahkan matanya pada nakas di dekat ranjang.      

Kihran menunduk dan menyelipkan sesuatu dari dalam seragam ajudan ke dalam laci nakas.      

Di sisi lain Sukma sibuk mengajak Aruna bicara, sembari meletakan benda-benda yang ia bawa.      

"Selamat malam cicit oma, jangan rewel!" Sukma berpesan. Sebelum keluar kamar beserta ajudan perempuan. Junior Susi membuntuti Nyonya-nya.      

.      

.      

"Apa yang ajudan-mu bawa? Bolehkah aku melihatnya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.